Kami kecewa dengan cara kelola Bangsa ini, namun kami tidak menyerah. Kami adalah komunitas baru, berusaha berbuat, berkontribusi, dan berkarya. Dengan cara kami sendiri kami akan melawan, demikian aksi kami, karena kami adalah KOMUNITAS PERLAWANAN
Selasa, 20 Juli 2010
Anak-Anak, Amunisi Permanen Intifadah
Namanya Ahmad, salah satu nama paling popular di wilayah Gaza. Wajahnya khas, wajah Palestina. Hidungnya yang tinggi membuat cekung matanya tampak tajam. Kulitnya putih. Perawakannya gempal. kalau diam, orang akan mengira dia anak yang lambat. Saya bertemu Ahmad di tepi pantai wilayah Khan Yunes, Salah satu wilayah teramai di Jalur Gaza sepanjang waktu. Saat itu, Ahmad dan sekitar 15 orang temannya sedang liburan sekolah musim panas. Mereka berseragam olah raga dan beberapa diantanya memegang bola sepak.
Awalnya mereka sungkan. Namun ketika saya memberi salam sembari tersenyum ramah, mereka malah merapat. Mungkin karena mereka jarang melihat orang asing, apalagi asing dan muslim. Sebentar saja kami langsung akrab. Salah seorang instruktur yang bersama mereka memperkenalkan saya kemudian.
Anak-anak ini bukan anak-anak sembarangan. Topi di kepalanya menjadi pembeda. Ia mengenakan topi berlogo mihrab al-Quds diselimuti slayer palestina dengan dua pedang menyilang di depannya. Di bagian bawah terdapat pita dengan tulisan berbahasa arab, harakatul muqowwamatul Islamiyah. Hamas. Dari sang instruktr saya mengetahui, bahwa mereka sedang dalam kegiataan summer camp. “Anak-anak adalah sosok dengan energi yang besar. Karena itu kami harus memastikan mereka memiliki cara yang tepat untuk menyalurkannya”, ujar Yusuf, salah satu instruktur summer camp.
Setelah cukup bersalam-salaman, Ahmad maju ke depan teman-temannya. Sebentar kemudian mengalun dari mulutnya nada-nada lagu. Saya tidak paham betul maksudnya, namun dari cerita instruktur yang ada, ternyata Ahmad sedang melantukan syair tentang kondisi mereka. “Tanah kami dirampok. Kebebasan kami direnggut. Tapi kami tidak bersedih. Justru mereka yang bersedih. Kami akan mengambilnya kembali. Hanya menunggu waktu saja. Dan kami akan mengalahkan mereka. Baik hidup maupun menjadi syuhada”. Serentak teman-teman Ahmad kompak berseru, “Birruh… biddam… nafdhika Yaa Aqso”, Dengan ruh… dengan darah… akan kubela engkau hai Aqso.
Mereka melantunkannya dengan lantang. Tangan mereka mengepal. Dada mereka membusung. Sikapnya sama seperti sikap pelajar Indonesia ketika menghormat bendera di upacara senin pagi. Dan setelah itu mereka bubar. Seperti Ahmad, mereka menghambur ke pantai. Meneruskan agenda mereka bermain bola.
Yusuf menjelaskan kepada saya bahwa ini salah satu kegiatan yang paling ditakuti oleh Yahudi. Anak-anak Palestina adalah anak-anak pejuang. Mereka dididik dalam lingkungan perang. Mereka melihat langsung orang tua mereka syahid. Mereka membanggakan Ayah dan Paman mereka yang menjadi martir perjuangan. Mereke menghibur Ibundanya yang menjanda. Dan dengan itu semua mereka secara sadar membentuk citra dirinya sebagai pejuang.
Di Gaza, anak-anak memiliki tempat yang terhormat. Tidak ada suara tinggi yang menghardik. Tidak ada tatapan meremehkan bagi mereka. Dan mereka bebas duduk di salah satu kursi dalam pertemuan para pemimpin. Sedikit pun, mereka tidak sungkan. Mereka dimuliakan. Salah seorang pasukan perlawanan Hamas, setiap kali bertemu dengan ponakannya, mereka saling melempar gurau dan kehangatan. Seolah mereka habis berpisah lama. Hal yang membuat saya terpesona.
Anak-anak di Gaza, bersahabat dengan perang. Mereka berlarian di antara runtuhan bangunan. Sembari membanggakan anggota keluarganya yang syahid di tempat itu. Mereka menendang bola kaki dilapangan, yang bangunannya masih membekas jejak-jejak semburan altileri berat. Dan mereka bersenda gurau di lubang lebar bekas terjangan roket. Anak-anak di Gaza adalah nafas perlawanan. Mereka dicintai dan disayangi. Dan mereka mencintai dan menyayangi. Saya meninggalkan mereka dengan wajah dua bidadari kecil yang menunggu di Jakarta. Rasanya saya masih kurang memuliakan mereka.
Bagaimana anak-anak ini sedemikian berharga bagi para pejuang di Gaza. Hal tersebut terjawab ketika saya mengunjungi mesjid “Ibadurrahaman”. Sekitar 300 anak, terpisah lelaki dan perempuan, duduk berkelompok sepuluh-sepuluh. Setiap kelompok ditemani satu guru. Mereka sedang menghafalkan Al-Qur’an. Dalam waktu dua bulan mereka dinyatakan lulus 30 juz. Subhanallah!
Selama libur musim panas. Mereka mulai kegiatan menghafal Al-Qur’an sejak setelah shalat Subuh. Sampai pukul 06 mereka menghafal ayat baru. Setelah itu sampai pukul 8 mereka menyetor hafalan. Setelah itu mereka istirahat sejam. Selanjutnya menghafal ayat baru sampai pukul 10.30. Kemudian di isi tafsir sampi menjelang Dhuhur. Dan kegiatan berakhir setelah shalat Dhuhur. Makanya tidak heran, jika Gaza berhasil melantik 3000 anak hafal Al-Qur’an dalam 3 bulan.
Inilah ruh perjuangan sekaligus pasukan permanen yang menakutkan. Mereka mengisi jiwa dan fikirannya dengan ayat-ayat Allah. Dan lingkungan memperkenalkan jihad kepada mereka dengan sederhana. Lalu mereka membentuk figur dan tokoh dari sosok dekat yang mereka banggakan. Seperti di Indonesia, jika kita bertanya kepada seorang anak tentang cita-citanya, kita akan dijawab, “menjadi dokter seperti Ayah”, bedanya anak-anak Gaza menjawab, “seperti Ayah, menjadi pasukan Al-Qossam dan syahid menghadap Allah”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar