Kami kecewa dengan cara kelola Bangsa ini, namun kami tidak menyerah. Kami adalah komunitas baru, berusaha berbuat, berkontribusi, dan berkarya. Dengan cara kami sendiri kami akan melawan, demikian aksi kami, karena kami adalah KOMUNITAS PERLAWANAN
Minggu, 23 Desember 2012
Rahim-Rahim Mujahid
Sabtu, 22 Desember 2012
8 Hari Bahagia Pejuang Gaza
Senin, 17 Desember 2012
HITAM - PUTIH
Sabtu, 15 Desember 2012
Mesir dan Opini Referendum
#Bersama peserta aksi
Jelang subuh, sy menjejak dinginnya Cairo, Mesir. Udara yang sudah memasuki musim dinginnya, akan semakin rendah. 12 Derajat, belum terlalu dingin, namun terlalu rendah untuk ukuran kita di Indonesia. Dan, karena proses imigrasi tidak berjalan normal, maka dingin yang lain menjalari benak saya, berharap dengan sedikit gelisah. Hafizh, orang Mesir asli, tim KBRI yang menjemput kami, terlihat sedang ngobrol serius dengan beberapa petugas emigrasi, kemudian menghilang ke dalam ruang tertutup.
Perlu sekitar 30 menit, saat itu antrian emigrasi sesama penumpang Ettihad sudah habis. Hafizh keluar dari ruangan sambil melambai ke kami, Saya dan Faris. Dia menjelaskan bahwa visa kami sebenarnya belum keluar. Sticker kuning yang kami terima lewal email yang dikirimkan tim dari Mesir, hanya nomor registrasi calling visa. Semetara Visanya baru akan berlaku sepekan kemudian. Namun, Alhamdulillah, Allah memudahkan kami. Semua berjalan lancar. Kami menyalami tangan Hafizh sembari memuji usahanya—hal yang disenangi orang Arab.
Mas Suhartono dan Uda Anton, dua mahasiswa Al-Azhar dari Indonesia, menunggu kami di luar bandara. Menjelaskan sedikit situasi Mesir. Lalu mengiringi kami meninggalkan bandara. Kendaraan minimbus putih menjadi tunggangannya. “Hari ini adalah hari terakhir sebelum referendum pemerintah”, ujar Mas Tono, demikian kami memanggilnya. “Besok adalah masa penentuan yang penting bagi Mesir sebagai sebuah Negara. Akan stabil, atau terjebak dalam politik ketidakpastian” jelasnya. Saya menyimak sambil mengamati suasana kota yang lengang.
Mesir jelang terbit matahari tidak berbeda seperti 2 tahun lalu, saat saya pertama kali menjejaknya. Biasanya orang masih terlelap. Geliat kehidupan baru mulai jam 8, perlu sejam lagi setelahnya baru muncul keramaian. Padahal saat ini saya hadir di awal musim dingin. Sangat kontras dibanding kedatangan pertama. Saat itu puncak musim panas Cairo. Suhu rata-rata 49 Derajat. Tapi ternyata suasana paginya tidak berbeda.
Saya berangkat ke Mesir dengan bekal informasi media massa. Kerusuhan di Tahrir antara pemerintah dengan kelompok oposisi memberikan gambaran yang menegangkan. Dekrit dan referendum adalah tema mendasar bagi sebuah Negara. Benak saya kembali ke Indonesia era reformasi ’98. Namun kenyataan berbeda.
#Mesjid Rabiah Al Adawiyah lokasi aksi
Jum’at adalah hari libur umum di Mesir. Seperti Ahad di Indonesia. Saya memilih mesjid Rabi’ah al-Adawiyah sebagai tempat jum’atan. Selain dekat pusat kota, juga karena kabarnya menjadi tempat aksi dukungan terhadap referendum dan presiden Mursi. Dari penginapan ke Mesjid sekitar 20 menit dengan mobil. Sepanjang perjalanan situasi tampak normal. Bayangan tentang Mesir dari media tidak berbekas sedikitpun. Toko-toko buka, kendaraan padat, dan orang-orang tetap beraktifitas seperti biasa. Jadi aneh dengan ulasan media, baik terbitan Indonesia maupun beberapa chanel asing. Pasti ada konspirasi, saya menyimpulkan.
Jum’atan sangat padat. Mesjid besar tersebut meluap. Bangunan besar untuk sekolah di sampingnya pun meluap. Saya kebagian di pelataran. Saya bergetar. Orang-orang sangat ramah. Saya bahkan ditawarkan sajadah. Beberapa yang lain membagikan Koran dan alas bagi yang tidak punya. Khotib mengulas tema beramal kebaikan untuk diri dan bangsa. Meskipun tidak paham penuh bahasa arab, namun ayat-ayat yang disitir sangat familiar dan sering dibahas. Mencolok dan menonjolkan pentingnya berpartisipasi bagi kemanjuan Mesir. Do’anya agar Allah tidak membutakan hati setelah diberi petunjuk.
Setelah selesai ada yang iqomat lagi. Rupanya inilah jawaban kepadatan. Jama’ah jamak takdim. Mereka sangat banyak, “dari daerah-daerah dan akan aksi untuk mendukung referendum”, ujar Mas Tono menjelaskan. Singkatnya aksi pun dimulai dan berlangsung dengan semarak dan damai. Nikmati foto-fotonya saja y… hehe
#Anak-anak pun ikut aksi yang aman dan damai
#Seperti aksi di Monas, pedagang g mau kalah hehe
#Udara dingin hilang dengan Ubi cilembu, eh ci...Cairo
Jumat, 14 Desember 2012
Pasar Mobil Mesir
Selasa, 13 November 2012
Hari Pahlawan #Kepahlawanan Sosial
Rabu, 03 Oktober 2012
SHELTER PASIEN
Jumat, 28 September 2012
Karena Aku Mencitaimu...
Sabtu, 15 September 2012
Kami Anak Rohis Bukan Teroris
Selasa, 13 Maret 2012
Respon Taufan Wushi di Philippine
Tgl 16 Desember 2011 adalah waktu yg tidak terlupakan bagi masyarakat Cagayan De Oro, Phillipine. Keterkejutan akibat munculnya air dilantai rumah mereka, pada waktu yang tidak biasanya, dengan cepat berubah menjadi kepanikan. Rumah mereka, meskipun berada di tepi aliran sungai, namun bukanlah kawasan yg sering tergenang air, bahkan saat sungai membawa debit air tertingginya.
Namun malam itu berbeda. Lamat2 keheningannya berubah. Teriakan2 putus asa menggantinya dari seluruh sudut kampung. Gemuruh arus air mengantarkan getaran seolah bumi terbelah. Lalu Ayah lupa kepada keluarganya, ibu lupa dengan anak2nya, dan anak2 hanya mampu teriak2 histeris utk kemudian hilang tertelan gelombang air raksasa. "Saya panik, air naik dengan cepat, dan perlahan semakin kencang menabrak setiap bagian rumah. Lalu sy teriak membangunkan keluarga, namun air menyeret saya, membuat sy lupa kecuali utk bertahan agar tidak tergulung arus. Sy pingsan. Dan ketika sadar sy tersangkut dahan pohon besar bersama berbagai sampah dan mayat. Saya beruntung, hanya memar dan luka-luka. Namun sy sangat sedih, sampai kini sy belum tau nasib keluarga saya", ujar Jerico (43 thn) dengan mata berkaca-kaca. Ia termasuk satu dari ribuan korban di kampung Kala-Kala, Desa Makasanding, Propinsi Cagayan De Oro. “Satu jam malam itu, adalah satu jam terlama dalam hidup saya, ujarnya.
Kini, lebih dari tiga bulan setelah Tufan Sendong memporak-porandakan kawasan Cagayan dan Iligan di Philippina. Belum banyak perubahan berarti, baik terhadap korban, maupun kawasan. Namun, perlahan2 mereka berusaha melupakan mimpi buruk itu. Meskipun selama tiga bulan ini mereka masih harus hidup di tenda, namun ada harapan mendapatkan kawasan baru dengan rumah2 yg sedang dibangun oleh pemerintah utk mereka para korban. "Semoga dapat rampung dalam waktu cepat", ujar Jerico.
Dompet Dhuafa, untuk kedua kalinya mengirim tim kemanusiaan ke Cagayan dan Iligan pada 21-27 Feb lalu. Sebulan sebelumnya, Dompet Dhuafa menurunkan tim utk membantu masyarakat melaksanakan beberapa program kemanusiaan, meringankan beban para korban, dan berusaha membangkitkan semangat masyarakat utk menghadapi realitas dan keluar dari kesedihan mereka. Kali kedua, Dompet Dhuafa melakukan proses monitoring pelaksanaan program relief dan melakukan perekrutan dan peningkatan kapasitas relawan lokal di kawasan bencana.
Pada mulanya, Dompet Dhuafa menyiapkan skenario program yg bersifat recovery-development, mengingat masa bencana yg sudah berlangsung sekitar sebulan. Asumsinya, setelah sebulan, tentu sudah banyak perubahan atas inisiatif pemerintah maupun masyarakat dalam merespon bencana tersebut. Akan tetapi kenyataan di lapangan berbeda. Suasana masih semraut, seolah bencana baru saja terjadi beberapa hari sebelumnya. Sangat kontras jika dibandingkan dengan kejadian bencana di Indonesia. Gempa di Padang Pariaman tahun 2010 misalnya, hanya perlu satu pekan, tumpukan reruntuhan sudah tertata, akses jalan terbuka, dan masyarakat mulai kembali pada dinamika rutin mereka.
Membangun Kesadaran Masyarakat
Tim yang dipimpin langsung oleh Arifin Purwakananta, Direktur Penghimpunan dan Komunikasi Dompet Dhuafa, akhirnya melakukan penilaian dasar untuk menetapkan program yang akan dilaksanakan. Tahap program pun mundur menjadi program respon emergency. Masyarakat masih memerlukan pendampingan untuk keluar dari atmosfer bencana, dan mulai menata hidup mereka menjadi normal.
Berdasarkan hasil penilaian lapangan, Dompet Dhuafa melaksanakan beberapa kegiatan. Tumpukan lumpur dan sampah kayu yang berserakan direspon dengan membangkitkan semangat masyarakat agar membersihkan lingkungannya. “Jika besok anda terbangun, dan tidak ada lagi tumpukan lumpur, dan jalan di depan rumah anda bersih, apakah anda akan merasa lebih sehat?”, Tanya Bambang Suherman, GM Relief kepada kelompok masyarakat yang dijawab dengan senyum. Semangat masyarakat yang tumbuh tersebut direspon Dompet Dhuafa dengan menyediakan peralatan kebersihan seperti sekop, pacul, gergaji, sikat, sapu, gerobak angkut, dan lain-lain dalam jumlah banyak.
Selain itu, setelah diperhatikan, lambannya penanganan kebersihan lingkungan masyarakat juga disebabkan tidak tersedianya sumber air yang memadai. Masyarakat selama ini terbiasa dengan pola distribusi ala PDAM di Indonesia. Dalam satu Baranggay (nama untuk desa), sekian banyak orang, hanya satu orang yang mengerti teknis menggali sumur Pompa Air Manual, Sang Imam Mesjid. Al hasil, Dompet Dhuafa berhasil membangun dua sumber air, dan menjadi sumber air bersih pertama yang dimanfaatkan masyarakat Upperhinoplanon Baranggay di Iligan, dua bulan pasca bencana.
Sekolah Sementara, Ide baru yang segar
Dompet Dhuafa juga menurunkan program pendidikan berupa pendirian Sekolah Sementara di Santiago Baranggay, Iligan. Ide sekolah sementara ini juga menjadi ide baru dalam wacana penanganan bencana di Philippine. Semua pihak sekolah berfikir mencari dana untuk membangun sekolah permanen menggantikan bangunan yang rusak, dan itu memerlukan waktu paling cepat enam bulan. Namun tidak ada yang menjawab ketika tim Dompet Dhuafa menanyakan kegiatan antara selama menunggu sekolah siap. Maka ide Sekolah Sementara bergulir menjadi ide baru dalam pengelolaan pendidikan pasca bencana.
Selain itu, Dompet Dhuafa juga memperkenalkan model ‘sun school’. Kasusnya terjadi di SMU Santiago, Sekolah terendam lumpur setinggi dada orang dewasa. Sebagian besar siswanya menjadi korban bencana dan harus mengungsi ke Shelter pengungsian. Masalah muncul pada jarak antara pengungsian dengan sekolah. Pihak sekolah mengembangkan program fee for transport dan meal for school. Program tersebut dipaparkan ketika tim Dompet Dhuafa melakukan kunjungan ke sekolah tersebut. Ketika ditanyakan berapa banyak sumber daya yang harus disiapkan untuk program tersebut, Miss Anne, representative sekolah tersebut tidak bisa menjelaskan. Lalu Dompet Dhuafa menjelaskan ide program ‘sun school’. Sekolah sementara didirikan di central antara beberapa pengungsian yang berjarak dekat. Lalu guru dari sekolah induk yang jauh dikirimkan untuk mengelola kelas sekolah sementara tersebut. Dengan demikian, kendala jarak dapat di atasi dengan pengerahan sumber daya yang tidak besar.
Kedua ide program recovery pendidikan tersebut, disampaikan Bambang Suherman dalam rapat koordinasi antar pihak oleh Departemen Pendidikan Propinsi Iligan. Ide tersebut mendapatkan sambutan dari berbagai pihak di rapat tersebut. “We hope this program can solve the problem of the students while waiting for their new school building”, Ujar Bambang.
Menurut beberapa peserta rapat, ide program Dompet Dhuafa menjadi lebih relevan dibahas. Sebelumnya, sepanjang rapat, diskusi berjalan seputar masalah distribusi bantuan seragam. Sebagian sekolah mendapat bantuan berlebih, sementara yang lain kurang. Baru saat Dompet Dhuafa mendapat kesempatan berbicara, diskusi mulai beralih ke hal-hal yang lebih strategis. Berapa banyak pengehematan biaya cash for transport, berapa lama menunggu proses bangunan permanen, dan lain-lain.
Iligan Foodbank
Dinamika korban bencana yang pragmatis, menuntut penilaian yang mendalam. Seringkali hasilnya membuat kita tersentak dan terkejut. Secara umum, persepsi tentang Islam dan Muslimin sangat ‘miring’di Iligan, Philippine. Sebagian warga di Upperhinaplanon menjelaskan perlakuan diskriminatif dalam distribusi bantuan karena mereka muslim. Hal tersebut membuat Tim Dompet Dhuafa merancang model lain dalam mendistribusikan bantuan logistic pangan.
Idenya datang dari Arifin Purwakananta, untuk melibatkan pihak ketiga dalam distribusi bantuan pangan, sekaligus mengelolanya menjadi program jangka menengah. Lalu dibuatlah model Foodbank. Program ini adalah distribusi beras kepada korban. Dilaksanakan oleh kelompok relawan yang tidak berasal dari desa korban. Relawan tersebut juga mengelola penghimpunan donasi agar beras tersebut senantiasa tetap atau bertambah jumlahnya. Dengan model Iligan Foodbank, direkrutlah beberapa mahasiswa tingkat akhir MSU-IIT Iligan. Dengan training singkat satu malam, maka tim ini siap mengelola program. Alhamdulillah, sampai saat ini, tiga bulan setelah bencana, tim tersebut masih terus berjalan.
Hal-hal tersebut di ataslah yang dimonitor dan dievaluasi oleh tim Dompet Dhuafa yang diberangkatkan pada Februari 2012. Banyak hal yang berubah, namun secara umum, kondisi masih mirip seperti kedatangan pertama. Jembatan masih putus, suasana rumah-rumah penduduk belum sepenuhnya bersih, namun jalan-jalan sudah lebih lapang dan mudah dilalui. Bagaimanapun, menjadi kewajiban Dompet Dhuafa untuk membagi pengelaman dalam medan pengelolaan kebencanaan. Konsep respon tidak mengelompokan bencana lokal dan internasional. Melainkan meletakkan kemampuan dan ketersediaan sumber daya agar selalu dapat mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Dompet Dhuafa tentu berharap agar mimpi buruk Jericho tidak perlu berlangsung lebih lama, karena kelemahan respon para pihak yang bertanggung jawab. Dan tentu saja ucapan terima kasih kepada para donator atas kepercayaan yang diberikan kepada Dompet Dhuafa. Semoga tetap amanah dan semakin professional.-Beng
Namun malam itu berbeda. Lamat2 keheningannya berubah. Teriakan2 putus asa menggantinya dari seluruh sudut kampung. Gemuruh arus air mengantarkan getaran seolah bumi terbelah. Lalu Ayah lupa kepada keluarganya, ibu lupa dengan anak2nya, dan anak2 hanya mampu teriak2 histeris utk kemudian hilang tertelan gelombang air raksasa. "Saya panik, air naik dengan cepat, dan perlahan semakin kencang menabrak setiap bagian rumah. Lalu sy teriak membangunkan keluarga, namun air menyeret saya, membuat sy lupa kecuali utk bertahan agar tidak tergulung arus. Sy pingsan. Dan ketika sadar sy tersangkut dahan pohon besar bersama berbagai sampah dan mayat. Saya beruntung, hanya memar dan luka-luka. Namun sy sangat sedih, sampai kini sy belum tau nasib keluarga saya", ujar Jerico (43 thn) dengan mata berkaca-kaca. Ia termasuk satu dari ribuan korban di kampung Kala-Kala, Desa Makasanding, Propinsi Cagayan De Oro. “Satu jam malam itu, adalah satu jam terlama dalam hidup saya, ujarnya.
Kini, lebih dari tiga bulan setelah Tufan Sendong memporak-porandakan kawasan Cagayan dan Iligan di Philippina. Belum banyak perubahan berarti, baik terhadap korban, maupun kawasan. Namun, perlahan2 mereka berusaha melupakan mimpi buruk itu. Meskipun selama tiga bulan ini mereka masih harus hidup di tenda, namun ada harapan mendapatkan kawasan baru dengan rumah2 yg sedang dibangun oleh pemerintah utk mereka para korban. "Semoga dapat rampung dalam waktu cepat", ujar Jerico.
Dompet Dhuafa, untuk kedua kalinya mengirim tim kemanusiaan ke Cagayan dan Iligan pada 21-27 Feb lalu. Sebulan sebelumnya, Dompet Dhuafa menurunkan tim utk membantu masyarakat melaksanakan beberapa program kemanusiaan, meringankan beban para korban, dan berusaha membangkitkan semangat masyarakat utk menghadapi realitas dan keluar dari kesedihan mereka. Kali kedua, Dompet Dhuafa melakukan proses monitoring pelaksanaan program relief dan melakukan perekrutan dan peningkatan kapasitas relawan lokal di kawasan bencana.
Pada mulanya, Dompet Dhuafa menyiapkan skenario program yg bersifat recovery-development, mengingat masa bencana yg sudah berlangsung sekitar sebulan. Asumsinya, setelah sebulan, tentu sudah banyak perubahan atas inisiatif pemerintah maupun masyarakat dalam merespon bencana tersebut. Akan tetapi kenyataan di lapangan berbeda. Suasana masih semraut, seolah bencana baru saja terjadi beberapa hari sebelumnya. Sangat kontras jika dibandingkan dengan kejadian bencana di Indonesia. Gempa di Padang Pariaman tahun 2010 misalnya, hanya perlu satu pekan, tumpukan reruntuhan sudah tertata, akses jalan terbuka, dan masyarakat mulai kembali pada dinamika rutin mereka.
Membangun Kesadaran Masyarakat
Tim yang dipimpin langsung oleh Arifin Purwakananta, Direktur Penghimpunan dan Komunikasi Dompet Dhuafa, akhirnya melakukan penilaian dasar untuk menetapkan program yang akan dilaksanakan. Tahap program pun mundur menjadi program respon emergency. Masyarakat masih memerlukan pendampingan untuk keluar dari atmosfer bencana, dan mulai menata hidup mereka menjadi normal.
Berdasarkan hasil penilaian lapangan, Dompet Dhuafa melaksanakan beberapa kegiatan. Tumpukan lumpur dan sampah kayu yang berserakan direspon dengan membangkitkan semangat masyarakat agar membersihkan lingkungannya. “Jika besok anda terbangun, dan tidak ada lagi tumpukan lumpur, dan jalan di depan rumah anda bersih, apakah anda akan merasa lebih sehat?”, Tanya Bambang Suherman, GM Relief kepada kelompok masyarakat yang dijawab dengan senyum. Semangat masyarakat yang tumbuh tersebut direspon Dompet Dhuafa dengan menyediakan peralatan kebersihan seperti sekop, pacul, gergaji, sikat, sapu, gerobak angkut, dan lain-lain dalam jumlah banyak.
Selain itu, setelah diperhatikan, lambannya penanganan kebersihan lingkungan masyarakat juga disebabkan tidak tersedianya sumber air yang memadai. Masyarakat selama ini terbiasa dengan pola distribusi ala PDAM di Indonesia. Dalam satu Baranggay (nama untuk desa), sekian banyak orang, hanya satu orang yang mengerti teknis menggali sumur Pompa Air Manual, Sang Imam Mesjid. Al hasil, Dompet Dhuafa berhasil membangun dua sumber air, dan menjadi sumber air bersih pertama yang dimanfaatkan masyarakat Upperhinoplanon Baranggay di Iligan, dua bulan pasca bencana.
Sekolah Sementara, Ide baru yang segar
Dompet Dhuafa juga menurunkan program pendidikan berupa pendirian Sekolah Sementara di Santiago Baranggay, Iligan. Ide sekolah sementara ini juga menjadi ide baru dalam wacana penanganan bencana di Philippine. Semua pihak sekolah berfikir mencari dana untuk membangun sekolah permanen menggantikan bangunan yang rusak, dan itu memerlukan waktu paling cepat enam bulan. Namun tidak ada yang menjawab ketika tim Dompet Dhuafa menanyakan kegiatan antara selama menunggu sekolah siap. Maka ide Sekolah Sementara bergulir menjadi ide baru dalam pengelolaan pendidikan pasca bencana.
Selain itu, Dompet Dhuafa juga memperkenalkan model ‘sun school’. Kasusnya terjadi di SMU Santiago, Sekolah terendam lumpur setinggi dada orang dewasa. Sebagian besar siswanya menjadi korban bencana dan harus mengungsi ke Shelter pengungsian. Masalah muncul pada jarak antara pengungsian dengan sekolah. Pihak sekolah mengembangkan program fee for transport dan meal for school. Program tersebut dipaparkan ketika tim Dompet Dhuafa melakukan kunjungan ke sekolah tersebut. Ketika ditanyakan berapa banyak sumber daya yang harus disiapkan untuk program tersebut, Miss Anne, representative sekolah tersebut tidak bisa menjelaskan. Lalu Dompet Dhuafa menjelaskan ide program ‘sun school’. Sekolah sementara didirikan di central antara beberapa pengungsian yang berjarak dekat. Lalu guru dari sekolah induk yang jauh dikirimkan untuk mengelola kelas sekolah sementara tersebut. Dengan demikian, kendala jarak dapat di atasi dengan pengerahan sumber daya yang tidak besar.
Kedua ide program recovery pendidikan tersebut, disampaikan Bambang Suherman dalam rapat koordinasi antar pihak oleh Departemen Pendidikan Propinsi Iligan. Ide tersebut mendapatkan sambutan dari berbagai pihak di rapat tersebut. “We hope this program can solve the problem of the students while waiting for their new school building”, Ujar Bambang.
Menurut beberapa peserta rapat, ide program Dompet Dhuafa menjadi lebih relevan dibahas. Sebelumnya, sepanjang rapat, diskusi berjalan seputar masalah distribusi bantuan seragam. Sebagian sekolah mendapat bantuan berlebih, sementara yang lain kurang. Baru saat Dompet Dhuafa mendapat kesempatan berbicara, diskusi mulai beralih ke hal-hal yang lebih strategis. Berapa banyak pengehematan biaya cash for transport, berapa lama menunggu proses bangunan permanen, dan lain-lain.
Iligan Foodbank
Dinamika korban bencana yang pragmatis, menuntut penilaian yang mendalam. Seringkali hasilnya membuat kita tersentak dan terkejut. Secara umum, persepsi tentang Islam dan Muslimin sangat ‘miring’di Iligan, Philippine. Sebagian warga di Upperhinaplanon menjelaskan perlakuan diskriminatif dalam distribusi bantuan karena mereka muslim. Hal tersebut membuat Tim Dompet Dhuafa merancang model lain dalam mendistribusikan bantuan logistic pangan.
Idenya datang dari Arifin Purwakananta, untuk melibatkan pihak ketiga dalam distribusi bantuan pangan, sekaligus mengelolanya menjadi program jangka menengah. Lalu dibuatlah model Foodbank. Program ini adalah distribusi beras kepada korban. Dilaksanakan oleh kelompok relawan yang tidak berasal dari desa korban. Relawan tersebut juga mengelola penghimpunan donasi agar beras tersebut senantiasa tetap atau bertambah jumlahnya. Dengan model Iligan Foodbank, direkrutlah beberapa mahasiswa tingkat akhir MSU-IIT Iligan. Dengan training singkat satu malam, maka tim ini siap mengelola program. Alhamdulillah, sampai saat ini, tiga bulan setelah bencana, tim tersebut masih terus berjalan.
Hal-hal tersebut di ataslah yang dimonitor dan dievaluasi oleh tim Dompet Dhuafa yang diberangkatkan pada Februari 2012. Banyak hal yang berubah, namun secara umum, kondisi masih mirip seperti kedatangan pertama. Jembatan masih putus, suasana rumah-rumah penduduk belum sepenuhnya bersih, namun jalan-jalan sudah lebih lapang dan mudah dilalui. Bagaimanapun, menjadi kewajiban Dompet Dhuafa untuk membagi pengelaman dalam medan pengelolaan kebencanaan. Konsep respon tidak mengelompokan bencana lokal dan internasional. Melainkan meletakkan kemampuan dan ketersediaan sumber daya agar selalu dapat mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Dompet Dhuafa tentu berharap agar mimpi buruk Jericho tidak perlu berlangsung lebih lama, karena kelemahan respon para pihak yang bertanggung jawab. Dan tentu saja ucapan terima kasih kepada para donator atas kepercayaan yang diberikan kepada Dompet Dhuafa. Semoga tetap amanah dan semakin professional.-Beng
Langganan:
Postingan (Atom)