Selasa, 13 Maret 2012

Respon Taufan Wushi di Philippine

Tgl 16 Desember 2011 adalah waktu yg tidak terlupakan bagi masyarakat Cagayan De Oro, Phillipine. Keterkejutan akibat munculnya air dilantai rumah mereka, pada waktu yang tidak biasanya, dengan cepat berubah menjadi kepanikan. Rumah mereka, meskipun berada di tepi aliran sungai, namun bukanlah kawasan yg sering tergenang air, bahkan saat sungai membawa debit air tertingginya.

Namun malam itu berbeda. Lamat2 keheningannya berubah. Teriakan2 putus asa menggantinya dari seluruh sudut kampung. Gemuruh arus air mengantarkan getaran seolah bumi terbelah. Lalu Ayah lupa kepada keluarganya, ibu lupa dengan anak2nya, dan anak2 hanya mampu teriak2 histeris utk kemudian hilang tertelan gelombang air raksasa. "Saya panik, air naik dengan cepat, dan perlahan semakin kencang menabrak setiap bagian rumah. Lalu sy teriak membangunkan keluarga, namun air menyeret saya, membuat sy lupa kecuali utk bertahan agar tidak tergulung arus. Sy pingsan. Dan ketika sadar sy tersangkut dahan pohon besar bersama berbagai sampah dan mayat. Saya beruntung, hanya memar dan luka-luka. Namun sy sangat sedih, sampai kini sy belum tau nasib keluarga saya", ujar Jerico (43 thn) dengan mata berkaca-kaca. Ia termasuk satu dari ribuan korban di kampung Kala-Kala, Desa Makasanding, Propinsi Cagayan De Oro. “Satu jam malam itu, adalah satu jam terlama dalam hidup saya, ujarnya.

Kini, lebih dari tiga bulan setelah Tufan Sendong memporak-porandakan kawasan Cagayan dan Iligan di Philippina. Belum banyak perubahan berarti, baik terhadap korban, maupun kawasan. Namun, perlahan2 mereka berusaha melupakan mimpi buruk itu. Meskipun selama tiga bulan ini mereka masih harus hidup di tenda, namun ada harapan mendapatkan kawasan baru dengan rumah2 yg sedang dibangun oleh pemerintah utk mereka para korban. "Semoga dapat rampung dalam waktu cepat", ujar Jerico.

Dompet Dhuafa, untuk kedua kalinya mengirim tim kemanusiaan ke Cagayan dan Iligan pada 21-27 Feb lalu. Sebulan sebelumnya, Dompet Dhuafa menurunkan tim utk membantu masyarakat melaksanakan beberapa program kemanusiaan, meringankan beban para korban, dan berusaha membangkitkan semangat masyarakat utk menghadapi realitas dan keluar dari kesedihan mereka. Kali kedua, Dompet Dhuafa melakukan proses monitoring pelaksanaan program relief dan melakukan perekrutan dan peningkatan kapasitas relawan lokal di kawasan bencana.

Pada mulanya, Dompet Dhuafa menyiapkan skenario program yg bersifat recovery-development, mengingat masa bencana yg sudah berlangsung sekitar sebulan. Asumsinya, setelah sebulan, tentu sudah banyak perubahan atas inisiatif pemerintah maupun masyarakat dalam merespon bencana tersebut. Akan tetapi kenyataan di lapangan berbeda. Suasana masih semraut, seolah bencana baru saja terjadi beberapa hari sebelumnya. Sangat kontras jika dibandingkan dengan kejadian bencana di Indonesia. Gempa di Padang Pariaman tahun 2010 misalnya, hanya perlu satu pekan, tumpukan reruntuhan sudah tertata, akses jalan terbuka, dan masyarakat mulai kembali pada dinamika rutin mereka.

Membangun Kesadaran Masyarakat

Tim yang dipimpin langsung oleh Arifin Purwakananta, Direktur Penghimpunan dan Komunikasi Dompet Dhuafa, akhirnya melakukan penilaian dasar untuk menetapkan program yang akan dilaksanakan. Tahap program pun mundur menjadi program respon emergency. Masyarakat masih memerlukan pendampingan untuk keluar dari atmosfer bencana, dan mulai menata hidup mereka menjadi normal.

Berdasarkan hasil penilaian lapangan, Dompet Dhuafa melaksanakan beberapa kegiatan. Tumpukan lumpur dan sampah kayu yang berserakan direspon dengan membangkitkan semangat masyarakat agar membersihkan lingkungannya. “Jika besok anda terbangun, dan tidak ada lagi tumpukan lumpur, dan jalan di depan rumah anda bersih, apakah anda akan merasa lebih sehat?”, Tanya Bambang Suherman, GM Relief kepada kelompok masyarakat yang dijawab dengan senyum. Semangat masyarakat yang tumbuh tersebut direspon Dompet Dhuafa dengan menyediakan peralatan kebersihan seperti sekop, pacul, gergaji, sikat, sapu, gerobak angkut, dan lain-lain dalam jumlah banyak.

Selain itu, setelah diperhatikan, lambannya penanganan kebersihan lingkungan masyarakat juga disebabkan tidak tersedianya sumber air yang memadai. Masyarakat selama ini terbiasa dengan pola distribusi ala PDAM di Indonesia. Dalam satu Baranggay (nama untuk desa), sekian banyak orang, hanya satu orang yang mengerti teknis menggali sumur Pompa Air Manual, Sang Imam Mesjid. Al hasil, Dompet Dhuafa berhasil membangun dua sumber air, dan menjadi sumber air bersih pertama yang dimanfaatkan masyarakat Upperhinoplanon Baranggay di Iligan, dua bulan pasca bencana.

Sekolah Sementara, Ide baru yang segar

Dompet Dhuafa juga menurunkan program pendidikan berupa pendirian Sekolah Sementara di Santiago Baranggay, Iligan. Ide sekolah sementara ini juga menjadi ide baru dalam wacana penanganan bencana di Philippine. Semua pihak sekolah berfikir mencari dana untuk membangun sekolah permanen menggantikan bangunan yang rusak, dan itu memerlukan waktu paling cepat enam bulan. Namun tidak ada yang menjawab ketika tim Dompet Dhuafa menanyakan kegiatan antara selama menunggu sekolah siap. Maka ide Sekolah Sementara bergulir menjadi ide baru dalam pengelolaan pendidikan pasca bencana.

Selain itu, Dompet Dhuafa juga memperkenalkan model ‘sun school’. Kasusnya terjadi di SMU Santiago, Sekolah terendam lumpur setinggi dada orang dewasa. Sebagian besar siswanya menjadi korban bencana dan harus mengungsi ke Shelter pengungsian. Masalah muncul pada jarak antara pengungsian dengan sekolah. Pihak sekolah mengembangkan program fee for transport dan meal for school. Program tersebut dipaparkan ketika tim Dompet Dhuafa melakukan kunjungan ke sekolah tersebut. Ketika ditanyakan berapa banyak sumber daya yang harus disiapkan untuk program tersebut, Miss Anne, representative sekolah tersebut tidak bisa menjelaskan. Lalu Dompet Dhuafa menjelaskan ide program ‘sun school’. Sekolah sementara didirikan di central antara beberapa pengungsian yang berjarak dekat. Lalu guru dari sekolah induk yang jauh dikirimkan untuk mengelola kelas sekolah sementara tersebut. Dengan demikian, kendala jarak dapat di atasi dengan pengerahan sumber daya yang tidak besar.

Kedua ide program recovery pendidikan tersebut, disampaikan Bambang Suherman dalam rapat koordinasi antar pihak oleh Departemen Pendidikan Propinsi Iligan. Ide tersebut mendapatkan sambutan dari berbagai pihak di rapat tersebut. “We hope this program can solve the problem of the students while waiting for their new school building”, Ujar Bambang.

Menurut beberapa peserta rapat, ide program Dompet Dhuafa menjadi lebih relevan dibahas. Sebelumnya, sepanjang rapat, diskusi berjalan seputar masalah distribusi bantuan seragam. Sebagian sekolah mendapat bantuan berlebih, sementara yang lain kurang. Baru saat Dompet Dhuafa mendapat kesempatan berbicara, diskusi mulai beralih ke hal-hal yang lebih strategis. Berapa banyak pengehematan biaya cash for transport, berapa lama menunggu proses bangunan permanen, dan lain-lain.

Iligan Foodbank

Dinamika korban bencana yang pragmatis, menuntut penilaian yang mendalam. Seringkali hasilnya membuat kita tersentak dan terkejut. Secara umum, persepsi tentang Islam dan Muslimin sangat ‘miring’di Iligan, Philippine. Sebagian warga di Upperhinaplanon menjelaskan perlakuan diskriminatif dalam distribusi bantuan karena mereka muslim. Hal tersebut membuat Tim Dompet Dhuafa merancang model lain dalam mendistribusikan bantuan logistic pangan.

Idenya datang dari Arifin Purwakananta, untuk melibatkan pihak ketiga dalam distribusi bantuan pangan, sekaligus mengelolanya menjadi program jangka menengah. Lalu dibuatlah model Foodbank. Program ini adalah distribusi beras kepada korban. Dilaksanakan oleh kelompok relawan yang tidak berasal dari desa korban. Relawan tersebut juga mengelola penghimpunan donasi agar beras tersebut senantiasa tetap atau bertambah jumlahnya. Dengan model Iligan Foodbank, direkrutlah beberapa mahasiswa tingkat akhir MSU-IIT Iligan. Dengan training singkat satu malam, maka tim ini siap mengelola program. Alhamdulillah, sampai saat ini, tiga bulan setelah bencana, tim tersebut masih terus berjalan.

Hal-hal tersebut di ataslah yang dimonitor dan dievaluasi oleh tim Dompet Dhuafa yang diberangkatkan pada Februari 2012. Banyak hal yang berubah, namun secara umum, kondisi masih mirip seperti kedatangan pertama. Jembatan masih putus, suasana rumah-rumah penduduk belum sepenuhnya bersih, namun jalan-jalan sudah lebih lapang dan mudah dilalui. Bagaimanapun, menjadi kewajiban Dompet Dhuafa untuk membagi pengelaman dalam medan pengelolaan kebencanaan. Konsep respon tidak mengelompokan bencana lokal dan internasional. Melainkan meletakkan kemampuan dan ketersediaan sumber daya agar selalu dapat mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Dompet Dhuafa tentu berharap agar mimpi buruk Jericho tidak perlu berlangsung lebih lama, karena kelemahan respon para pihak yang bertanggung jawab. Dan tentu saja ucapan terima kasih kepada para donator atas kepercayaan yang diberikan kepada Dompet Dhuafa. Semoga tetap amanah dan semakin professional.-Beng