Sabtu, 24 Juli 2010

Relawan Indonesia Bangun Sumber Air Bersih di Gaza


detikcom - Gaza, Tim Relawan Indonesia dari Dompet Dhuafa (DD) membangun tiga sumber air bersih di di Gaza, Palestina. Fasilitas senilai Rp 1 miliar tersebut diharapkan dapat beroperasi pada bulan Ramadhan mendatang dan dapat mengurangi ketergantungan warga terhadao Israel dalam pasokan air dan makanan.

General Manager Program Sosial DD, Bambang Suherman menyatakan, ketiga sarana air bersih itu masing-masing berkapasitas 80 ribu liter per jam. Fasilitas ini akan memberikan manfaat besar bagi upaya pemandirian warga.

Gaza hingga saat ini masih terus berjuang untuk memenuhi
kebutuhan dasar pangan mereka dari kemampuan mereka sendiri.

"Air bersih ini bermanfaat untuk mendukung upaya reviltalisasi kawasan perkebunan dan pertanian di Gaza sehingga warga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri," kata Bambang Suherman melalui telepon kepada detikcom di Medan, Sabtu (24/7/2010).

Disebutkan Bambang, hingga sekarang warga di sana masih berupaya
merevitalisasi lahan pertanian di bekas lahan lama yang dulu dihancurkan Israel. Rusaknya lahan pertanian ini membuat warga memiliki ketergantungan yang besar terhadap Israel untuk keperluan pangan, seperti sayur dan buah-buahan.

Areal pertanian yang rencananya akan direvitalisasi tersebut luasnya mencapai 1.500 ekar (atau sekitar 607 hektar) yang terpisah di beberapa tempat.

Untuk mendukung upaya tersebut, dibutuhkan sumber air yang cukup banyak. Saat ini hanya ada empat sumber air bersih yang mampu mengairi lahan seluas 400 ekar. Dua di antaranya berkapasitas 30 ribu liter per jam dan dua unit lagi berkapasitas besar 80 ribu liter per jam. Dengan adanya pembangunan tiga sarana air bersih yang bersumber dari donasi warga Indonesia itu, maka areal yang akan direvitalisasi bertambah.

"Mungkin bertambah sekitar 300 ekar atau sekitar 121 hektar. Tentu saja air tersebut juga bermanfaat bagi keperluan sehari-hari
keluarga-keluarga yang ada di Gaza," kata Bambang.

Ketiga sumber air bersih yang dibangun DD tersebut terletak di
Rafah-Gaza, berbatasan dengan daerah Khan Yunis. Menurut Bambang, di
kawasan ini masih terlihat bangunan-bangunan permanen bekas tempat
tinggal yang sudah dihancurkan.

Dalam pembangunan sarana air bersih tersebut, yang dimulai sejak 17 Juli lalu, DD bekerjasama dengan lembaga Jama'ah al-Khairiyah al-Ijtima'iyyah yang dipimpin DR Fuad al-Nahl. Selain fokus pada bidang pertanian, lembaga ini juga juga memiliki organisasi intermediator untuk program pendidikan, kesehatan, dan rehabilitasi korban serangan Israel.

"Begitu MoU-nya ditandatangani, maka pembangunan langsung dimulai.
Secara teknis pengerjaan itu mereka yang kelola, tetapi komunikasi untuk mengetahui perkembangan proyek kerjasama itu tetap berlangsung.
Diperkirakan, pada Ramadan ini, atau sebelum musim dingin ketiga sarana air bersih tersebut dapat beroperasi," kata Bambang.

Jika sumber air itu bisa dioperasikan dan bisa menyuburkan lahan
pertanian di sana, maka warga Gaza tidak perlu membeli sumber pangan
seperti sayur dan buah-buahan dari luar, baik dari Mesir apalagi Israel.
 
Hanya kebutuhan listrik yang sampai saat ini masih bergantung kepada
Mesir dan Israel, kata Bambang.

Rabu, 21 Juli 2010

Dompet Dhuafa Republika Tinggalkan Gaza

REPUBLIKA.CO.ID,RAFAH—-Tim relawan dan media dari Dompet Dhuafa Republika meninggalkan Gaza City, Palestina. Tim yang berjumlah empat orang akan bertolak kembali ke Jakarta pada Rabu (21/7) malam dari Kairo, Mesir.

Kepulangan tim dari Gaza City dilepas oleh sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama, dan mahasiswa di Rafah. Pimpinan Jam’iyyah Al-Khairiyyah Al-Ijtima’iyyah, Fouad Al Nahhal, mengucapkan terima kasih kepada tim atas kedatangan mereka ke Jalur Gaza.

“Kalian telah melihat langsung bagaimana kehidupan masyarakat sini setelah perang. Silahkan kabarkan kepada umat muslim Indonesia betapa kami ingin hidup merdeka, berdaulat layaknya negara-negara lain di dunia,” papar Fouad di Rafah, Palestina.

Fouad melanjutkan, saat ini serangan militer Israel memang sudah bisa dikatakan berhenti. Namun agresi militer negara Yahudi tersebut bisa kapan saja terjadi lagi tanpa masyarakat Gaza tahu penyebabnya. “Tentu saja ini membuat kehidupan kami merasa terus terteror.”

Abu Khudaifah, pemuka agama di Yubna, menambahkan, rakyat Palestina di Jalur Gaza tidak akan berhenti berjuang untuk mempertahankan tanah dan hidup mereka. Kendati jumlah penduduk Gaza hanya sekitar 1,7 juta jiwa, namun kekuatan yang dimiliki Gaza sejatinya jauh lebih besar dari angka kuantitaif tersebut. “Selama Allah, Muhammad, dan Alquran ada bersama kami, kekuatan kami sangatlah besar. Apalagi kalian saudara-saudara muslim kami ada berdiri di samping kami,” imbuh Abu Khudaifah.

Ketua Tim Dompet Dhuafa Republika, Bambang Suherman, tak henti-hentinya menegaskan jika kunjungan masyarakat muslim Indonesia tidak akan berhenti sampai di sini. “Kami akan terus berdoa, mengirimkan bantuan, dan mengutus perwakilan ke sini. Bukan saja dari Dompet Dhuafa, tapi dari seluruh masyarakat Indonesia,” papar Bambang.

Dikatakan, masyarakat Indonesia akan senantiasa berada dalam satu barisan rakyat Gaza dalam mewujudkan kemerdekaan negara yang diimpi-impikan. Masyarakat Indonesia akan terus memberikan sumbangsih bagi perjuangan rakyat Palestina agar mampu menyandang status negara merdeka di benderanya. “Insya Allah, dengan izin-Nya pulalah Palestina akan segera merdeka dan kita, Indonesia dan Palestina, akan terus bersaudara sampai akhir zaman,” ucap Bambang.

Setelah berdialog dan makan bersama para tokoh Jalur Gaza di Rafah, tim pun meninggalkan ‘tanah suci’ Palestina menuju perbatasan di Rafah.

Di gerbang batas antara Palestina dan Mesir, rasa haru menggelayuti semua orang yang ada. Abu Musaf, pria yang menyediakan tempat tinggal selama tim Dompet Dhuafa berada di Gaza, tampak tak kuasa menahan tetesan airmatanya. Sungguh sangat kontras dengan badannya yang gagah nan tinggi tegap. Abu Musaf satu persatu memeluk anggota tim Dompet Dhuafa, yaitu Bambang Suherman, Herman Budianto, Muhammad Fani Rahman, dan EH Ismail.

“Sungguh kalau bisa, saya senang jika kalian bisa berada di sini selamanya. Jika negara ini sudah merdeka, datanglah kalian kesini, rumah saya terbuka lebar untuk kalian semua muslim Indonesia,” tutur Abu Musaf.

Abu Musaf pun menambahkan, bila saja bisa, dirinya ingin berkunjung ke Indonesia dan menyapa semua muslim tanah air serta merangkulnya satu per satu. “Kalian muslim Indonesia sungguh telah membuat kami makin kuat, kuat, dan kuat untuk memperjuangkan Palestina Merdeka,” kata Abu Mushaf melepas tim.

Dompet Dhuafa telah berada di Gaza selama sepekan dalam rangkan menjalankan misi bantuan kemanusiaan berupa pembangunan instalasi air untuk perkebunan di Rafah dan Jabaliya. Nilai bantuan yang disalurkan mencapai Rp 1 miliar rupiah.

Selain Dompet Dhuafa, M Fani Rahman yang merupakan perwakilan dari Sahabat Al-Aqsha (Suara Hidayatullah) juga menyalurkan bantuan untuk pembangunan satu unit instalasi air di Jabaliya. Selain itu, Sahabat Al-Aqsha juga menyalurkan bantuan langsung untuk para korban perang Gaza, anak-anak yatim, dan para penghuni camp pengungsian di Rafah, Beit Hanon, Beit Lehiya, dan Jabaliya. Bantuan yang disalurkan Sahabat Al-Aqsha mencapai Rp 500 juta. (eh.ismail)

Selasa, 20 Juli 2010

Anak-Anak, Amunisi Permanen Intifadah


Namanya Ahmad, salah satu nama paling popular di wilayah Gaza. Wajahnya khas, wajah Palestina. Hidungnya yang tinggi membuat cekung matanya tampak tajam. Kulitnya putih. Perawakannya gempal. kalau diam, orang akan mengira dia anak yang lambat. Saya bertemu Ahmad di tepi pantai wilayah Khan Yunes, Salah satu wilayah teramai di Jalur Gaza sepanjang waktu. Saat itu, Ahmad dan sekitar 15 orang temannya sedang liburan sekolah musim panas. Mereka berseragam olah raga dan beberapa diantanya memegang bola sepak.

Awalnya mereka sungkan. Namun ketika saya memberi salam sembari tersenyum ramah, mereka malah merapat. Mungkin karena mereka jarang melihat orang asing, apalagi asing dan muslim. Sebentar saja kami langsung akrab. Salah seorang instruktur yang bersama mereka memperkenalkan saya kemudian.

Anak-anak ini bukan anak-anak sembarangan. Topi di kepalanya menjadi pembeda. Ia mengenakan topi berlogo mihrab al-Quds diselimuti slayer palestina dengan dua pedang menyilang di depannya. Di bagian bawah terdapat pita dengan tulisan berbahasa arab, harakatul muqowwamatul Islamiyah. Hamas. Dari sang instruktr saya mengetahui, bahwa mereka sedang dalam kegiataan summer camp. “Anak-anak adalah sosok dengan energi yang besar. Karena itu kami harus memastikan mereka memiliki cara yang tepat untuk menyalurkannya”, ujar Yusuf, salah satu instruktur summer camp.

Setelah cukup bersalam-salaman, Ahmad maju ke depan teman-temannya. Sebentar kemudian mengalun dari mulutnya nada-nada lagu. Saya tidak paham betul maksudnya, namun dari cerita instruktur yang ada, ternyata Ahmad sedang melantukan syair tentang kondisi mereka. “Tanah kami dirampok. Kebebasan kami direnggut. Tapi kami tidak bersedih. Justru mereka yang bersedih. Kami akan mengambilnya kembali. Hanya menunggu waktu saja. Dan kami akan mengalahkan mereka. Baik hidup maupun menjadi syuhada”. Serentak teman-teman Ahmad kompak berseru, “Birruh… biddam… nafdhika Yaa Aqso”, Dengan ruh… dengan darah… akan kubela engkau hai Aqso.


Mereka melantunkannya dengan lantang. Tangan mereka mengepal. Dada mereka membusung. Sikapnya sama seperti sikap pelajar Indonesia ketika menghormat bendera di upacara senin pagi. Dan setelah itu mereka bubar. Seperti Ahmad, mereka menghambur ke pantai. Meneruskan agenda mereka bermain bola.

Yusuf menjelaskan kepada saya bahwa ini salah satu kegiatan yang paling ditakuti oleh Yahudi. Anak-anak Palestina adalah anak-anak pejuang. Mereka dididik dalam lingkungan perang. Mereka melihat langsung orang tua mereka syahid. Mereka membanggakan Ayah dan Paman mereka yang menjadi martir perjuangan. Mereke menghibur Ibundanya yang menjanda. Dan dengan itu semua mereka secara sadar membentuk citra dirinya sebagai pejuang.

Di Gaza, anak-anak memiliki tempat yang terhormat. Tidak ada suara tinggi yang menghardik. Tidak ada tatapan meremehkan bagi mereka. Dan mereka bebas duduk di salah satu kursi dalam pertemuan para pemimpin. Sedikit pun, mereka tidak sungkan. Mereka dimuliakan. Salah seorang pasukan perlawanan Hamas, setiap kali bertemu dengan ponakannya, mereka saling melempar gurau dan kehangatan. Seolah mereka habis berpisah lama. Hal yang membuat saya terpesona.

Anak-anak di Gaza, bersahabat dengan perang. Mereka berlarian di antara runtuhan bangunan. Sembari membanggakan anggota keluarganya yang syahid di tempat itu. Mereka menendang bola kaki dilapangan, yang bangunannya masih membekas jejak-jejak semburan altileri berat. Dan mereka bersenda gurau di lubang lebar bekas terjangan roket. Anak-anak di Gaza adalah nafas perlawanan. Mereka dicintai dan disayangi. Dan mereka mencintai dan menyayangi. Saya meninggalkan mereka dengan wajah dua bidadari kecil yang menunggu di Jakarta. Rasanya saya masih kurang memuliakan mereka.

Bagaimana anak-anak ini sedemikian berharga bagi para pejuang di Gaza. Hal tersebut terjawab ketika saya mengunjungi mesjid “Ibadurrahaman”. Sekitar 300 anak, terpisah lelaki dan perempuan, duduk berkelompok sepuluh-sepuluh. Setiap kelompok ditemani satu guru. Mereka sedang menghafalkan Al-Qur’an. Dalam waktu dua bulan mereka dinyatakan lulus 30 juz. Subhanallah!

Selama libur musim panas. Mereka mulai kegiatan menghafal Al-Qur’an sejak setelah shalat Subuh. Sampai pukul 06 mereka menghafal ayat baru. Setelah itu sampai pukul 8 mereka menyetor hafalan. Setelah itu mereka istirahat sejam. Selanjutnya menghafal ayat baru sampai pukul 10.30. Kemudian di isi tafsir sampi menjelang Dhuhur. Dan kegiatan berakhir setelah shalat Dhuhur. Makanya tidak heran, jika Gaza berhasil melantik 3000 anak hafal Al-Qur’an dalam 3 bulan.

Inilah ruh perjuangan sekaligus pasukan permanen yang menakutkan. Mereka mengisi jiwa dan fikirannya dengan ayat-ayat Allah. Dan lingkungan memperkenalkan jihad kepada mereka dengan sederhana. Lalu mereka membentuk figur dan tokoh dari sosok dekat yang mereka banggakan. Seperti di Indonesia, jika kita bertanya kepada seorang anak tentang cita-citanya, kita akan dijawab, “menjadi dokter seperti Ayah”, bedanya anak-anak Gaza menjawab, “seperti Ayah, menjadi pasukan Al-Qossam dan syahid menghadap Allah”

Senin, 19 Juli 2010

Bukan Perempuan Biasa


Ini hadiah ulang tahun terindah yang pernah kudapatkan. Ditulis Istriku dalam senyap dan jarak yang membentang. Semoga Allah menguatkannya di dunia, dan mengabulkan keinginannya di Surga, Amin

Demikian Penuturannya:

Hari-hari berlalu tanpa kusadari. Sepertinya baru kemarin kuputuskan untuk menerima pinanganmu. Kini, sudah dua bidadari hadir mendampingi kita. Dan tak lama lagi, bintang ketiga pun kan lahir dan menambah cerahnya kehidupan.

Kutapaki jalanku menjadi pendampingmu dan ibu bagi anak-anakmu, tanpa merasa tercuri sedikit pun waktu hidupku. Karena kalianlah nafasku. Bagian dari jiwa dan ragaku. Maka manalah mungkin melayani kalian menjadi beban buatku. Meski sering juga aku mengeluh letih dan jenuh, bukanlah karena aku tak bersyukur dan habis sabarku terhadap apa yang kuhadapi. Tapi lebih karena aku merasa tak juga sempurna menjadi sesuatu bagi kalian.

Bahkan saat jarak menjauhkan pandangan, tak pernah sekejap pun mata dan hati ini berpaling. Tidak darimu yang telah mengambil tanggung jawab atas diriku. Tidak juga dari anak-anakmu yang selalu mengingatkanku akan semua yang ada padamu. Walau kadang aku melihat begitu banyak kesempatan yang dapat membuatmu berpaling dariku, tak juga menggodaku untuk melepaskan keberadaanku atasmu. Aku akan selalu ada untukmu. Di saat kau menyadarinya ataupun tidak. Dan saat kau membutuhkanku ataupun sudah merasa cukup.

Sampai kapanpun masa ini berputar, aku akan selalu menjadi aku. Yang akan bersyukur atas apa yang Ia karuniakan padaku; yaitu dirimu dan para penerus nasabmu. Dan bersabar atas apa yang Ia tetapkan bagiku; ujian kebahagiaan ataupun kepiluan. Seberat apapun tanggung jawab yang ada di pundakku,kan kupikul dengan segenap cinta dan penuh semangat. Air mata yang mungkin berderai, biarlah menjadi penyejuk hati dan kerinduanku. Dan semoga masih bernilai bagimu: berdua…selalu bersama…adalah kekuatan. Karena selalu bernilai bagiku.



Aku, tak ingin menjadi perempuan biasa. Aku ingin menjadi sahabat, istri, dan peneguh keimananmu di dunia. Juga menjadi ibu, guru, dan teman bagi anak-anakmu hingga mereka menjadi kebanggaan Rabb-ku. Agar kelak di akhirat, tempatku bukan tempat untuk orang biasa saja, melainkan surga Firdaus-Nya. Dan Ia sematkan gelar bidadari bagiku, untuk suamiku.

Sabtu, 17 Juli 2010

Perlawanan itu Bernama Pembangunan



Kehidupan masyarakat Gaza adalah kehidupan yg dengan sangat keras diusahakan berjalan normal. Anak-anak bersekolah, pasar melakukan transaksi, orang dewasa bekerja, bahkan pesta perkawinan berlangsung semarak dgn musik dan hidangan.

Jika kita berdiri di salah satu persimpangan kota, akan dijumpai keramaian layaknya kota. Ada angkot dgn kenek yg berteriak mengundang penumpang. Berjajar pertokoan dan berlangsung transaksi, ada pojok buah di sudut perempatan jalan, banyak kelompok nongkrong pemuda bersenda gurau, lalu lalang perempuan dengan aktivitasnya, aroma masakan di udara Gaza menguap dari rumah mkan di kiri dan kanan jalan. Serta terlihat kasigapan polisi mengatur jalan dan keramaian.

Namun di balik itu semua, sebuah kerja super keras dilakukan. Beberapa orang berhimpun dan membentuk sebuah organsisasi sosial. Dari organisasi ini diproduk kebijakan dan diturunkan program-program. Baik prog ekonomi maupun sosial pendidikan. Organisasi tersebut adalah Jam'iyah al-Harokiyah al-Ijtima'iyyah.




JHI adalah sebuah org sosial yg berusaha memastikan seluruh kebutuhan dasar masyarakat Gaza terpenuhi. JHI eksis di seluruh wilayah Jalur Gaza. Mereka membentuk organisasi-organisasi program yang spesifik dibawah sub koordinasinya. JHI memiliki perwakilan di setiap daerah di Jalur Gaza. Dalam keadaan diblokade, JHI tetap mampu bekerja sama dengan berbagai pihak untuk keperluan masy gaza. "Kami memiliki berbagai macam program. Kami mendidik anak dan menyekolahkannya hingga lulus, kami mengelola rumah sakit untuk yang tidak mampu. Dan kami mengelola perkebunan yang luas dan sumber air untuk memenuhi keperluan-keperluan masyarakat Gaza," uajr Dr. Fuad An-Nahl. Beliau adalah penanggung jawab wilayah Rafah, Gaza. "Kami berusaha mengurangi ketergantungan kami dari sumber luar, baik Israel maupun Mesir", demikian tambah Dr. Fuad.

Tim kemanusiaan Dompet Dhuafa Republika diterima oleh JHI pada kamis malam di rumah Dr. Fuad di tengah kota Rafah, Gaza. Kepada JHI ketua tim Bambang Suherman menjelaskan maksud kedatangan delegasi DD, "Kami ingin melanjutkan kembali program setahun lalu yaitu membantu produksi keperluan pokok masyarakat Gaza. Hanya saja, jika tahun lalu kami merevitalisasi pabrik roti, saat ini kami ingin membuatkan sumber air utk keperluan harian masyarakat Gaza".

Tahun lalu sebuah pabrik roti dengan kapasitas produksi 1500 roti perhari, berhasil dihidupkan oleh tim DD. Saat ini tim DD mencoba untuk membantu memenuhi keperluan sumber air masyarakat Gaza. "Kami memang mengarahkan fokus program kami kepada pemenuhan keperluan bahan pokok masyarakat Gaza. Kami mengambil segmen ini untuk bersinergi dengan tim kemanusiaan lain dari Indonesia", ujar Bambang. Tim DD berharap seluruh delegasi Indonesia mampu membidik target program masing-masing sehingga secara keseluruhan mampu memenuhi beragam keperluan masyarakat Gaza.

Pada perjalanan kali ini tim DD juga melakukan assesmen awal untuk menjajaki pengembangan program jangka panjang di Gaza. Beberapa lokasi pasar dan sarana pendidikan telah disurvey oleh tim. "Kami berusaha mengidentifikasi prospek pengembangan program pasar. Selain itu kami juga berusaha menyiapkan program pembiayaan bagi unit usaha yang potensial di pasar-pasar Gaza, semacam BMT di Indonesia".

Pada saat ini tim DD juga sedang melakukan seleksi kepada pemuda Gaza sebagai calon penerima beasiswa. Mereka akan diberangkatkan ke Indonesia. Diharapkan mereka mampu menyelesaikan pendidikannya di bidang ekonomi.

Pendidikan dan ekonomi akan menjadi fokus program jangka panjang DD di Gaza. "Kami akan secara kontinyu mengunjungi Gaza agar seluruh program pendidikan dan ekonomi tersebut berjalan dengan baik," ujar Bambang. DD berharap agar program tersebut menjadi wujud nyata kontribusi masyarakat Indonesia dalam mengawal kemerdekaan Palestina dan dibukanya blokade embargo atas Gaza.

Kamis, 15 Juli 2010

Realitas Gaza


4 orang relawan kemanusiaan DD berhasil masuk Gaza bersama 5 orang relawan MerC. Sementara beberapa orang relawan lain tertahan di emigrasi karena kurang kelengkapan adminstrasi.
Hari pertama masuk Gaza, tim kemanusiaan DD disambut oleh Abu Mushaf. Beliau adalah salah satu petugas di gerbang perbatasan wilayah Gaza. Dari gerbang perbatasan tersebut masing-masing tim ditemani oleh petugas yang telah disiapkan oleh pihak Gaza. Tim DD langsung dikawal oleh Abu Mushab, sementara MerC di kawal oleh Abu Bilal.

Dari bandara, tim DD bergerak ke rumah Abu Mushab yang masih terletak di wilayah Rafah, Gaza. Perjalanan dari gerbang perbatasan hanya membutuhkan waktu 15 menit.
Selama perjalanan, sy memperhatikan dinamika umum kehidupan masyarakat wilayah Rafah. sepintas terlihat normal. Jalanan, meskipun tidak padat, namun tidak sedikit kendaraan yg melintas. Bahkan di depan kendaraan kami, satu truk kontainer melaju. Sy berfikir, bahwa suplai keperluan hidup seharusnya cukup dengan adanya armada kontainer yg mampu mengangkut barang dalam jumlah besar.


Tak berapa lama, kami bertemu perempatan jalan. Sambil berbelok ke kanan, sy sempat memperhatikan bahwa di sebelah kanan jalan terdapat bangunan besar model gudang dgn tumpukan karung berisi beras. Itu berarti terdapat stock pangan di wilayah Rafah, Gaza ini. Di seberang jalan, nampak seorang perempuan Gaza menggandeng 4 org anak kecil melangkah tenang menyeberangi jalan. Kemudian searah dengan arah kami, sy jumpai tokoh buah dengan ragam jenis buah yg didagangkan, dan stasiun pengisian bahan bakar dengan 3 mobil sedang mengantri utk diisi. Meskipun suasan kota Rafah, Gaza ini terlihat lengang, namun kesan umumnya adalah normal.

Sesampai di rumah Abu Mushaf, sy memperhatikan beberapa anak-anak kecil bermain. Keriangan wajah mereka tdk berkurang. Dan tidak tampak tekanan dan ketakutan, meskipun wilayah mereka adalah wilayah yang mengalami blokade dari Israel dan pembatasan oleh Mesir.

Di depan rumah Abu Bilal terhampar kebun tomat yang baru saja ditanami. Tinggi tanaman yang baru mencapai 15 cm terhampar di atas lahan seluas sekitar 3 lapangan bola. Artinya masyarakat Rafah, Gaza ini mensuplai beberapa kebutuhan pangannya dari usaha pertanian. Hal tersebut ditegaskan oleh Abu Mushaf, bahwa bahan pangan mereka didapatkan dari pertanian, tidak disuplai dari luar, baik oleh Israel maupun Mesir.

Setelah tiba tim DD berdiskusi utk menggali informasi lebih dalam tentang situasi dan keperluan untuk menunjang kehidupan di Gaza. Bergabung bersama kami seorang pemuda Gaza bernama Rafat dengan bahasa Inggris yg sangat baik. Dia adalah mahasiswa teknik mesin tingkat 5 univ terbuka Gaza. Dari Rafat kami mendapat penjelasan tentang geografi kota Gaza secara umum dan dinamika di dalamnya.

Menurut Rafat, masyarakat Gaza di Rafah ini memiliki semangat juang yg tinggi. Mereka tidak menyerah dgn blokade yg dilakukan oleh Israel. Mereka juga tidak takut dengan suasana perang. "Sekarang jauh lebih tenang. Setahun lalu, suara mortir dan ledakan roket sama sekali tdk mengurangi kenormalan hidup masyarakt rafah, Gaza", demikian jelas Rafat. "Itu memang dunia kami, sampai kami berhasil mengalahkan Yahud", tambahnya.

Saya menanyakan dinamika ekonomi kota Rafah, Gaza. Menurut Rafat normal. Selain wilayah Jabaliyah, wilayah lain di Gaza berjalan relatif normal. Perdagangan berjalan, toko2 banyak dijumpai dan pasar tetap ramai oleh pedagang dan pembeli. Sesekali memang terjadi kelangkaan stok keperluan, tapi tidak membuat masyarakt resah.

Kami menikmati percakapan di rumah Abu Mushaf. Rafat memperkenalkan kami bahwa Abu Mushaf adalah salah satu panglima dalam pasukan perlawanan terhadap Yahudi di Gaza. Rafat menerangkan penjelasan Abu Mushaf kepada kami, "selamat datang, ini rumah saya. Silahkan anda nikmati sebagaimana rumah anda sendiri. Jangan sungkan jika membutuhkan sesuatu. Insya Allah kami akan memenuhinya. Anda semua adalah tamu kami, dan kami wajib dihadapan Allah memuliakan anda semuanya", ujar Abu Mushaf yg diterjemahkan oleh Rafat.

Menurut Rafat, Abu mushaf memilki 6 orang anak. Dan yg membuat tim langsung antusias adalah bahwa 6 orang anak tersebut berasal dari dua Ibu. Namun penjelasan Abu Mushab memberikan makna lain dalam benak kami tentang 2 istri. "Yahudi banyak sekali membunuh anak2 kami", ujar Abu Mushab sambil menggerakkan tangannya menyilang di leher. "Kami harus memilki jumlah pasukan yang banyak dan kuat. Dan anak-anak bagi kami adalah pasukan yg berhak menuntut masa anak-anaknya dikembalikan oleh Yahudi. Karena itu saya menikah 2 kali untuk perjuangan ini", tandasnya.

Sampai malam menjelang, kami menikmati Gaza di kota Rafah ini dengan tenang. Tapi kami bisa merasakan gejolak yg berkobar di dalam setiap jiwa mereka. Saya sadar, senormal apapun dinamika yg terlihat, Gaza tetap wilayah perang. Dan kedatangan kami, saya harap mampu membawa semangat dukungan terhadap perjuangan mereka. Paling tidak mereka tahu, muslim dan masyarakt Indonesia yang tidak setuju dengan penindasan dan penjajahan, berpihak pada mereka. "Tetap berjuang saudaraku, banyak pihak mendukungmu!"

Gerbang Rafah Takluk

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA--Setelah 12 hari berada di Mesir, tim Dompet Dhuafa Republika akhirnya berhasil masuk ke Jalur Gaza, Palestina, pada Kamis (15/7) siang. Keberhasilan tim masuk ke wilayah yang diblokade Israel tersebut tak terlepas dari fasilitasi yang diberikan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kairo.

Anggota Tim Dompet Dhuafa Republika yang berjumlah empat orang tersebut, langsung mengucap syukur saat langkah pertama mereka menginjak tanah Palestina. Keempat anggota tim adalah Bambang Suherman, Herman Budianto, Muhammad Fani Rahman, dan wartawan Republika, EH Ismail.

Turut serta bersama tim adalah seorang penerjemah yang merupakan mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo, Muhammad Faris Afif. Namun sayang, Faris tak diperkenankan masuk ke Gaza karena tak mempunyai dokumen persyaratan yang lengkap.

Hampir serentak, Bambang, Herman, dan Fani melakukan sujud syukur di wilayah yang berbatasan langsung dengan Mesir tersebut. Suka-cita tampak di wajah rombongan mengingat itu adalah kali keempat mereka mencoba masuk melewati perbatasan Rafah.

Sebelumnya, tim pernah mencoba masuk ke Jalur Gaza pada Ahad (11/7) dan Senin (12/7). Tiga kali mengajukan dokumen kepada petugas di perbatasan Rafah, tiga kali pula rombongan ditolak masuk. Alasan petugas, rombongan tak memiliki izin resmi dari State Security Mesir. Namun kali ini, berbekal dokumen tambahan dari Press Center State Information Service of Egypt dan dokumen penyerta dari KBRI Kairo, tim Dompet Dhuafa berhasil menembus Rafah.

Ketua Tim Dompet Dhuafa Republika, Bambang Suherman, menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Press Center dan para diplomat KBRI Kairo atas fasilitasi yang membuat tim berhasil ke Jalur Gaza. Secara khusus, Bambang menyebut nama Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia di Kairo, Abdurrahman Mochammad Fachir; Atase Penerangan Sosial dan Budaya, Iwan Wijaya Mulyatno; Atase Politik, Burhanuddin Badruzzaman; Atase Pendidikan, Sangidu; serta staf KBRI, Amir Syarifuddin dan Ali Andika.

"Tak lupa kami juga ucapkan terima kasih kepada para mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Al Azhar. Semua bantuan mereka takkan kami lupakan," kata Bambang. Dia melanjutkan, tim akan langsung melakukan misi kemanusiaan dan peliputan berita sesampainya di tengah-tengah rakyat Gaza. "Kami tidak mau buang-buang waktu, mohon doa dari tanar air agar kami bisa bertugas dengan optimal," imbuh Bambang.

Kali ini adalah kunjungan keempat tim Dompet Dhuafa selama sembilan tahun terakhir. Kecuali memonitor bantuan yang telah diberikan sebelumnya, kali ini tim akan membangun sumur air di sejumlah titik di Gaza. Kebutuhan air rakyat Gaza selama ini disuplai oleh Israel. Selain mengatasi masalah keterbatasan suplai yang terbatas, pembangunan sumur diharapkan dapat membuat rakyat Gaza mandiri memenuhi kebutuhan air mereka

‎​Imigrasi Rafah Disesaki Pengunjung


RAFAH--Kantor Imigrasi Rafah di perbatasan antara Mesir dan Palestina dipenuhi pengunjung yang ingin masuk ke Jalur Gaza.
Sejak pukul 10.00 waktu setempat, ratusan orang mengurus izin masuk di kantor seluas seperempat lapangan bola tersebut.
Kendati sudah disediakan barisan bangku-bangku tunggu, namun pemohon izin memilih berjubel di depan loket pengurusan paspor. Tidak adanya pengeras suara dan papan petunjuk informasi membuat pemohon izin memilih tempat menunggu di dekat loket.
Sejumlah relawan dan wartawan asing juga tampak dalam ratusan pemohon izin. Namun, pemohon didominasi pemegang paspor Palestina yang umumnya mengenakan jilbab kurung serba hitam.
Tangisan bayi yang ikut dalam antrean mewarnai suasana riuh di depan loket imigrasi.
Termasuk dalam antrean pemohon izin masuk adalah relawan dari Indonesia yang berasal dari Dompet Dhuafa Republika, Mer-C, dan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Ahmad Jadallah yang mengaku sebagai wartawan Reuteurs, mengeluhkan pelayanan petugas imigrasi Rafah yang terkesan tak begitu memperdulikan para pemohon izin masuk Gaza.
"Anda lihat sendiri bayi itu menangis keras tanpa ada petugas yang peduli. Tak seharusnya kondisi ini dibiarkan," ujar Jadallah kepada //Republika//, di Rafah, Kamis (15/7).
Kendati demikian, Jadallah melanjutkan, diperkenankannya ratusan orang mengajukan izin masuk Gaza melalui pintu Rafah merupakan kemajuan yang cukup baik. Dibandingkan dengan satu-dua bulan lalu, kata Jadallah, orang yang boleh masuk ke imigrasi sangat dibatasi jumlah dan waktunya.
"Bulan lalu pintu hanya buka hari-hari tertentu dan orangnya dibatasi. Sekarang Anda bisa masuk (ke imigrasi) setiap hari dari jam 10 pagi sampe jam 18.00," tutur Jadalah.
Karim, pemegang paspor Palestina, menyatakan rasa syukurnya bisa masuk ke Gaza setelah mendapatkan visa dari Imigrasi Rafah.
"Anda tahu, selama ini susah masuk ke sana," kata Karim bergegas masuk ke pintu imigrasi menuju Rafah. Dia hanya berujar, "Saya dan keluarga akan menjumpai saudara di sana," imbuhnya singkat. Karim pergi bersama dua orang wanita dan seorang anak ke Gaza.
Sementara itu, di pintu gerbang luar Rafah, puluhan pemuda Mesir saling berkejaran berlomba mendapatkan jasa membawa barang pengunjung Gaza. Setiap kendaraan yang datang, baik itu taksi atau mobil sewaan, selalu dikerumuni pemuda-pemuda Mesir yang ingin menawarkan jasa.
Umumnya, mobil yang datang membawa tumpukan barang yang diletakkan di bagasi dan atap mobil.
Tentu saja mereka berebutan menawarkan jasa karena mobil-mobil pembawa pengunjung tak diperkenankan mendekat ke pintu gerbang.
Untuk membawa barang-barang dari mobil terparkir sampai gerbang yang hanya berjarak kurang dari 100 meter, uang jasa yang bisa diterima memang cukup menggiurkan.
Sa'ad, salah satu pemuda penyelia jasa angkutan barang, mengatakan, satu kali angkut dirinya bisa memperoleh 10 sampai 20 pounds (sekitar Rp 35 ribu).
"Itu untuk semua barang yang diangkut. Kalau ada tiga orang yang membantu, ya dibagi tiga," ucap Sa'ad.
Adakalanya Sa'ad memperoleh 50 sampe 100 pounds untuk barang-barang yang berjumlah banyak dan besar-besar.
"Tidak ada tarif resminya, tapi pasti mereka juga punya ukuran dan pengertian karena kita membantu bawa barang-barangnya," kata Sa'ad.
Ihwal nasib para relawan dan jurnalis Indonesia, sampai pukul 16.00 waktu setempat, belum satu pun yang bisa melewati pinti imigrasi di Rafah.
"Kita sudah menunggu hampir lima jam untuk mendapatkan kepastian bisa atau tidak melintas. Kita akan tetap tunggu sampai ada kepastian," tandas Ketua Tim Dompet Dhuafa Republika, Bambang Suherman.n EH Ismail

Sabtu, 10 Juli 2010

Dompet Dhuafa Bertolak ke Rafah



REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO—Lima hari sudah tim relawan dari Dompet Dhuafa berada di Kairo. Mereka masih menunggu izin masuk ke Jalur Gaza dari State Security Mesir selaku pemegang otoritas di Rafah, perbatasan antara Mesir dan Jalur Gaza Palestina.

Menunggu tanpa kepastian waktu penyelesaian permohonan izin masuk ke Gaza, tentu bukan merupakan pekerjaan yang menyenangkan. Tak ingin terus menunggu, tim Dompet Dhuafa pun memutuskan untuk bertolak ke Rafah tanpa mengantongi izin resmi dari State Security Mesir.

Hanya berbekal surat keterangan dari KBRI di Kairo, empat orang anggota tim Dompet Dhuafa bakal bertolak ke Rafah, Sabtu (10/7) pagi ini. Rencana keberangkatan pada pukul 10.00 waktu Kairo atau pukul 12.00 WIB.

Tim dompet dhuafa bakal didampingi dua orang penerjemah dan seorang supir asal Mesir yang akan mengantarkan sampai pintu perbatasan di Rafah. “Insya Allah kita memutuskan untuk mencoba masuk Rafah,” ujar perwakilan tim Dompet Dhuafa, Bambang Suherman, di Kairo, Sabtu (10/7).

Bambang berharap, misi tim ke Jalur Gaza akan berjalan lancar dan mampu menembus lima cek poin antara Kairo dan Rafah. “Doakan saja. Kami juga berharap rekan-rekan di tanah air mendoakan dan memberikan dukungan moral terhadap misi kami,” imbuh Bambang.

Sekadar catatan, setelah peristiwa agresi tentara Israel terhadap rombongan kapal kemanusiaan Mavi Marmara, Mesir akhirnya menyatakan membuka secara permanen pintu masuk ke Jalur Gaza di Rafah. Tekanan dunia internasional atas aksi brutal tentara Israel, diyakini sebagai pemicu ‘melunaknya’ Mesir atas blokade di Rafah.

Kendati sudah menyatakan membuka secara permanen pintu perbatasan Rafah, namun prosedur untuk bisa masuk ke Jalur Gaza ternyata bukanlah perkara mudah. Para relawan ataupun pegiat sosial-kemanusiaan yang ingin ke sana harus memegang izin dari State Security Mesir.

Nahasnya, tidak ada ukuran waktu yang pasti kapan penyelesaian permohonan izin masuk ke Gaza bisa dikeluarkan Otoritas Rafah tersebut. “Kita pun nggak bisa memastikan. Kewenangan penuh berada di tangan mereka,” kata Ketua Satuan Tugas untuk Jalur Gaza KBRI Kairo, Burhanuddin Badruzzaman (Ismail Lazarade)

Kamis, 08 Juli 2010

catatan Mesir 2: Kota Mesir, Gedung Coklat dan Debu Gurun



Hal yang paling berbeda antara Mesir dan Indonesia adalah warna latar alamnya. Berbeda dengan Indonesia yang berlatar hijau, di Mesir, warna latar alamnya adalah coklat debu. Gedung-gedung apartemen, atau di Mesir disebut ‘imaroh’, yang membatasi pandangan kita dari gurun pasir luas, semuanya berwarna dasar coklat. Kesan kotanya kaku dan tertutup. Jika kita berada di jalan kota, kita serasa berada dalam labirin taman beton. Kiri kanan berjajar imaroh yang kaku, berdebu, dan tidak menarik. Rata-rata imaroh mencapai 10 sampai 12 lantai. Sangat sedikit view luas yang bisa ditemui dari jalan utama kota Kairo.

Imaroh tegak tinggi-tinggi. Modelnya seragam, baik warna maupun arsitektur. Sepertinya, ini termasuk adaptasi morfologi dalam konsep biologi. Artinya, dengan menggunakan warna senada dengan alam, maka akan lebih murah nilai ekonomis yang diperlukan dalam merawatnya. Pikiran sederhananya, daripada repot mengecat ulang dan membersihkan debu, lebih baik dari awal dicat senada dengan warna debu.

Ada hal menarik jika kita memperhatikan imaroh ini. Hampir semua puncak gedung dipenuhi oleh parabola kecil tv kabel, dan jaringan internet melekat pada line telepon. Rupanya kesadaran pemerintah Mesir terhadap informasi dan jaringan sangat bagus. Mengepa demikian, sebab biaya berlangganan tv kabel tersebut hanya 200 pond pertahun atau sekitar 350 ribu rupiah. Sementara internet dengan kecepatan 1 mega seharga 200 ribu per bulan. Walaupun biayanya relatif sama dengan di Indonesia, kapasitas internet tersebut sangat cepat, sebab bisa nonton bola tanpa loading yang lelet spt di Indonesia. Apakah standar 1 Mega di Indonesia berbeda dengan di Mesir y…? jangan-jangan ada yang dikorup hehe.

Selain imaroh, pagar setinggi tiga meter adalah pemandangan unik lain di kota Mesir. Terdapat banyak kawasan dengan pagar tertutup di pinggiran kota Mesir. Sehigga pemandangan kiri kanan jalan akan terbentur dinding pagar. Kawasan berpagar tersebut juga luas-luas. Bisa mencapai 2 km panjangnya. Jadi silahkan anda bayangkan jalanan yang kiri kanannya adalah pagar 3 meter sepanjang 2 km. Beberapa institusi di belakang pagar tersebut adalah kawasan militer, kampus khusus akhwat, asrama mahasiswa, dan terutama kuburan.


Mungkin hanya di Mesir terdapat kuburan yang seluas kota itu sendiri. Sedemikian luasnya sampai disebut city of the dead. Panjang lingkarannya mencapi 10 km persegi, sehingga kemana saja kita berjalan di dalam kota, bisa dipastikan akan bersimpangan dengan kota mati tersebut.

Selain luas, City of the dead sederhanya adalah kuburan. Bentuknya beragam. Bahkan ada yang berbentuk dan seluas mesjid di Indonesia. Di makam tersebut, jenazah diletakkan dalam raung besar di bawah tanah yang memiliki satu pintu ke atas. Jadi bukan sekedar liang. Dan Jenazah tersebut tidak ditimbun tanah, hanya diletakkan saja di dalam ruang makam. Karenanya, di dalam kawasan kota mati, aroma yang menyeruak bersama angin sangat pekat berbau bangkai.


Selebihnya, kota mesir adalah deretan gedung di atas gurun. Semua objek wisata sekitar kota tidak jauh dari wisata pasir dan batu. Walaupun ada pepohonan di dalam kota, jangan membayangkan suasana sejuk kawasan Sudirman-Thamrin. Pohon yang tumbuh dominan Kurma dan beberapa jenis mirip angsana. Sehingga kesan coklat dan debunya akan sangat menonjol.

Berada di Mesir, saya seakan baru tersadar, betapa Indonesia adalah negeri yang indah dan kaya raya. Sayang kita belum bisa menikmati sepenuhnya. Di Jakarta kita juga memiliki debu, namun jelas lebih ramah dan sangat sedikit dibanding Mesir. Sementara coklat, opini saya di Indonesia adalah permen nikmat yang lezat. Sangat berbeda dari opini kota yang kaku, kumuh dan berdebu. Oh Indonesia… oh Indonesia…, satu untuk keindahanmu, satu lagi untuk kegagalan mengelolamu.

Catatan Mesir 1: A’ish, Makanan Mesir Semua Kalangan



Namanya A’ish, kalau diucapkan menjadi ‘ish. Adalah makanan pokok masyarkat Mesir. Jika disuruh memilih antara a’ish dengan nasi, maka orang Mesir pasti memilih a’ish. Bentuknya tidak menarik. Untuk ukuran masyarakat Indonesia, terutama yang memiliki standar kebersihan lebih, a’ish pasti tidak mengundang selera. Selain berwarna coklat terang keabu-abuan, remah-remah gandum masih melekat memberikan kesan berpasir.

A’ish terbuat dari gandum. Kalau di Indonesia mirip seperti bakpao, tapi lebih ceper dan ukurannya tiga kali lebih besar. Sebagaimana roti, a’ish dibuat dengan cara dipanggang, namun rasanya berbeda. Rasa a’ish tawar-tawar asam. Sebagai makanan pokok, a’ish bisa dihidangkan dengan makanan apa saja di Mesir. Namun ada hidangan tertentu yang biasanya menemani a’ish, yaitu to’miyah, semacam perkedel; saksuka, semacam acar dari olahan telur, tomat, dan bawang dengan rasa asam; dan full, kuah kacang semacam kuah ketoprak dan gado-gado tetapi rasanya tawar

Harganya a’ish relatif murah yaitu 1 Le setara dengan Rp. 1650 bisa dapat 10 buah. Untuk ukuran porsi orang Mesir, sekali makan bisa menghabiskan 10 buah. Keunggulan makanan ini adalah tidak akan basi, atau rusak. Sebab jika ia sudah beberapa hari, ia akan digoreng dan hasilnya akan seperti kerupuk pangsit di Indonesia.


Berdasarkan ukuran makanan, maka di Mesir tidak berlaku idiom small is beautiful. Melihat porsi makan orang Mesir, saya baru paham mengapa orang Mesir secara fisik besar-besar. Ukuran saya bahkan terhitung remaja di Mesir, hehe. Buat yang akan ke Mesir dan Negara arab lainnya, selain berlatih menghadapi suhu, silahkan berlatih menghadapi porsi makanan. Sebagai komparasi, seekor ayam ukuran jumbo adalah porsi untuk satu orang di Mesir. Belum lagi ditambah a’ish, daging sapi panggang, dan usus sapi isi nasi yang dipanggang.

Sambil makan sy berfikir, apakah dhuafa di Mesir makannya juga porsi standar ya…? Tentu lebih berat lagi mereka menahan lapar dibanding dhuafa Indonesia. Welehhh…

Siapa Penguasa Gerbang Rafah?


KAIRO (8/7)—Sudah tiga hari tim Dompet Dhuafa di Mesir. Sampai saat ini masih menunggu perijinan dari State security Mesir. Penantian ini diiringi dengan perasaan resah, karena kewenangan perijinan, sepenuhnya di tangan Pemerintah Mesir. Meskipun media memuat informasi pembukaan gerbang Rafah, namun hal tersebut tidak berarti melewatinya akan mudah. Bahkan bisa dikatakan, tidak ada yang berubah.

Senin 5 juli, tim Dompet Dhuafa Republika mendarat di Kairo, Mesir. Hari itu juga tim menghadap ke KBRI. Pertama kali kami diterima oleh Atase Pendidikan, Prof. DR. Sangidu M.Hum. Sebagai pengantar, beberapa kisah pengajuan perijinan masuk Gaza diceritakan. Termasuk yang masih hangat saat itu adalah rombongan Parlemen Indonesia yang berhasil menyampaikan bantuan langsung atas nama Indonesia ke Gaza.
Setelah itu kami langsung diarahkan menghadap Duta Besar Indonesia untuk Mesir, A.M. Fachir. Dengan Ramah, Dubes menerima dan menjelaskan beberapa hal terkait agenda yang akan tim lakukan. Menurut Dubes, KBRI akan selalu terbuka menerima dan memfasilitasi setiap permohonan ijin masuk ke Gaza. Bahkan KBRI senantiasa aktif membangun komunikasi dengan stakeholder kunci antara lain, pihak Kemenlu Mesir, Dubes Mesir untuk Indonesia, Badan State Scurity (disingkat SS, semacam BIN di Indonesia) selaku pengambil keputusan tertinggi di bawah presiden Mesir, Dubes Palestina untuk Mesir, dan tokoh-tokoh penting lainnya, dalam rangka menyamakan persepsi tentang Indonesia dan dukungannya kepada Palestina.

“Kami tidak akan pernah menjadi bottle necking, apapun permintaannya akan kami teruskan. KBRI tidak pernah berhenti komunikasi, baik formal maupun informal dengan semua pihak untuk memudahkan proses perijinan tersebut. Hal tersebut seringkali diartikan bahwa KBRI lah yang memiliki kewenangan”, tutur Pak Fachri. “Akan tetapi, tanggapannya seperti apa, sangat tergantung kepada Mesir yang memiliki kewenangan”, demikian ujar Beliau menambahkan.

Dubes RI menjelaskan bahwa Posisi KBRI adalah sebagai fasilitator. Ketika pengajuan perijinan penyaluran bantuan masuk ke Gaza diajukan, maka KBRI akan meneruskan ke Kemenlu Mesir. Selanjutnya dari Kemenlu akan diteruskan ke State Security (SS) Mesir. Di pihak SS inilah keputusan ditetapkan, apakah ijin dikeluarkan atau tidak. Dan hal tersebut menjadi kewenangan penuh SS dengan pegangan UU Subversif yang menaunginya. “Bahkan kita tidak bisa mempertanyakan sampai dimana prosesnya, dan berapa lama waktu hingga ijin tersebut dikeluarkan”, kata Pak Fachri menjelaskan.
Informasi yang diberikan pihak KBRI memberikan gambaran kepada tim DD, bahwa fungsi KBRI sebatas hanya memfasilitasi komunikasi diplomatik tanpa memiliki kemampuan menekan. Meskipun di awal pihak Dubes sudah menekankan akan memberikan dukungan penuh, namun dengan tidak adanya kemampuan memantau kejelasan waktu pengurusan ijin dari pihak Mesir dan kewenangan penuh SS, maka tidak ada yang bisa memastikan apakah ijin akan keluar atau tidak.

Beberapa pengalaman sebelumnya membuktikan hal tersebut. Ada ijin yang dikeluarkan hanya dalam semalam dan tiga hari. Namun ada juga yang selama hitungan bulan tidak keluar juga. Semua proses tersebut, baik yang ijinnya di keluarkan maupun yang tidak, tidak pernah diketahui argumentasinya. Hal tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan SS Mesir.

Tim yang menyadari hal tersebut, tentu saja berharap dukungan do’a dari segenap masyarakat yang mendukung perjuangan kemanusiaan membebaskan masyarakat Gaza dari penjara besar Yahudi dan ketertutupan akses logistik. Semoga rencana Allah SWT memudahkan pembebasan tersebut, meski siapapun memaksakan untuk menutupnya.

Penyematan Simbolik Relawan DD Egypt

Rabu, 07 Juli 2010

Jajaki Cabang Kairo, Dompet Dhuafa Bertemu Tokoh Pelajar dan Mahasiswa

Kairo (6/7)—Lembaga sosial-kemanusiaan Dompet Dhuafa Republika melakukan pertemuan dengan Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia Mesir (PPMI). Pertemuan tersebut menggagas lebih jauh rencana pembentukan cabang Dompet Dhuafa di Kairo. Hadir dalam pertemuan tersebut Muhammad Taufiq dan Syadid selaku Presiden dan Wakil Presiden PPMI.

“Kami menyadari, PPMI merupakan organisasi tertinggi yang mewakili komunitas Pelajar dan Mahasiswa di Mesir. Ini merupakan upaya komunikasi kami kepada teman-teman PPMI dalam rangka pembukaan Dompet Dhuafa Mesir, sebab pada akhirnya Pemuda dan Pelajar di Mesir inilah yang nanti akan berperan dalam mengelola Dompet Dhuafa Mesir,” Kata Bambang Suherman selaku GM Program Sosial yang mewakili Dompet Dhuafa.

PPMI berdiri sejak tahun 1995 dan mulai tahun 2003 menggunakan Student Government System (SGS) atau Sistem Pemerintahan Mahasiswa. PPMI disebut induk organisasi pelajar dan mahasiswa Indonesia karena dalam lingkungan PPMI terdapat 17 organisasi kekeluargaan yang menaungi mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Di antara organisasi tersebut adalah Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA), Kesepakatan Mahasiswa Minang (KMM), Keluarga Paguyuban Masyarakat Jawa Barat (KPMJB), Kelompok Studi Walisongo (KSW) untuk pelajar dari Jawa Tengah, Keluarga Masyarakat Jawa Timur (GAMAJATIM), Forum Silaturahmi Keluarga Madura (FOSGAMA), Kerukunan Keluarga Sulawesi (KKS), dan lainnya. Selain itu, terdapat juga organisasi mahasiswa berbasis ormas seperti seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan Al-Washliyah yang merupakan cabang resmi di Kairo.
Dalam pertemuan tersebut, M.Taufik selaku Presiden PPMI menyatakan bahwa PPMI menyambut baik dan berbahagia, karena DD bersedia berkomunikasi dengan PPMI dalam penjajakan pembukaan cabang DD Mesir. “Sudah lama kami berharap ada pembahasan yang serius mengenai upaya-upaya pemberdayaan potensi masyarakat Indonesia, baik pelajar, mahasiswa, maupun tenaga kerja WNI yang ada di Mesir”, Ujar Taufik.
Selain itu, Ihsan, salah satu mahasiswa Al-Azhar yang bersedia menjadi relawan Dompet Dhuafa juga menambahkan bahwa solidaritas perjuangan terhadap rakyat Palestina, khususnya Masyarakat Gaza yang mengalami blockade sepihak, juga bergejolak di Mesir, meskipun situasi dan kondisi pemerintahan di Mesir jauh berbeda dengan di Indonesia. “Kami akan sangat bahagia jika diberi kepercayaan untuk mendukung perjuangan Palestina. Untuk itu kami mendukung terbentuknya Dompet Dhuafa Mesir sebagai titik konsolidasi bagi bantuan yang akan masuk ke Gaza lewat Mesir.”
Pada pertemuan tersebut disepakati bahwa personil PPMI bersedia menjadi relawan Dompet Dhuafa Mesir yang akan membantu semua proses yang diperlukan sampai Dompet Dhuafa Mesir diresmikan. Pertemuan tersebut diakhiri dengan penyematan rompi Dompet Dhuafa secara simbolis kepada Sdr, Ihsan, salah satu pengurus Keluarga Sulawesi Selatan. “Saya kenal dengan Dompet Dhuafa, insya Allah saya bersedia langsung menjadi Relawan Dompet Dhuafa Mesir. Ini akan menjadi gebrakan baru dinamika aktifitas pelajar dan mahasiswa Indonesia di Mesir, karena kami memiliki wadah untuk mengembangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat di Mesir”, jelas Ihsan. “Kalau bisa secepatnyalah Dompet Dhuafa Mesir ini diresmikan”, ujarnya sambil tersenyum (Bbg)