Kamis, 08 Juli 2010

catatan Mesir 2: Kota Mesir, Gedung Coklat dan Debu Gurun



Hal yang paling berbeda antara Mesir dan Indonesia adalah warna latar alamnya. Berbeda dengan Indonesia yang berlatar hijau, di Mesir, warna latar alamnya adalah coklat debu. Gedung-gedung apartemen, atau di Mesir disebut ‘imaroh’, yang membatasi pandangan kita dari gurun pasir luas, semuanya berwarna dasar coklat. Kesan kotanya kaku dan tertutup. Jika kita berada di jalan kota, kita serasa berada dalam labirin taman beton. Kiri kanan berjajar imaroh yang kaku, berdebu, dan tidak menarik. Rata-rata imaroh mencapai 10 sampai 12 lantai. Sangat sedikit view luas yang bisa ditemui dari jalan utama kota Kairo.

Imaroh tegak tinggi-tinggi. Modelnya seragam, baik warna maupun arsitektur. Sepertinya, ini termasuk adaptasi morfologi dalam konsep biologi. Artinya, dengan menggunakan warna senada dengan alam, maka akan lebih murah nilai ekonomis yang diperlukan dalam merawatnya. Pikiran sederhananya, daripada repot mengecat ulang dan membersihkan debu, lebih baik dari awal dicat senada dengan warna debu.

Ada hal menarik jika kita memperhatikan imaroh ini. Hampir semua puncak gedung dipenuhi oleh parabola kecil tv kabel, dan jaringan internet melekat pada line telepon. Rupanya kesadaran pemerintah Mesir terhadap informasi dan jaringan sangat bagus. Mengepa demikian, sebab biaya berlangganan tv kabel tersebut hanya 200 pond pertahun atau sekitar 350 ribu rupiah. Sementara internet dengan kecepatan 1 mega seharga 200 ribu per bulan. Walaupun biayanya relatif sama dengan di Indonesia, kapasitas internet tersebut sangat cepat, sebab bisa nonton bola tanpa loading yang lelet spt di Indonesia. Apakah standar 1 Mega di Indonesia berbeda dengan di Mesir y…? jangan-jangan ada yang dikorup hehe.

Selain imaroh, pagar setinggi tiga meter adalah pemandangan unik lain di kota Mesir. Terdapat banyak kawasan dengan pagar tertutup di pinggiran kota Mesir. Sehigga pemandangan kiri kanan jalan akan terbentur dinding pagar. Kawasan berpagar tersebut juga luas-luas. Bisa mencapai 2 km panjangnya. Jadi silahkan anda bayangkan jalanan yang kiri kanannya adalah pagar 3 meter sepanjang 2 km. Beberapa institusi di belakang pagar tersebut adalah kawasan militer, kampus khusus akhwat, asrama mahasiswa, dan terutama kuburan.


Mungkin hanya di Mesir terdapat kuburan yang seluas kota itu sendiri. Sedemikian luasnya sampai disebut city of the dead. Panjang lingkarannya mencapi 10 km persegi, sehingga kemana saja kita berjalan di dalam kota, bisa dipastikan akan bersimpangan dengan kota mati tersebut.

Selain luas, City of the dead sederhanya adalah kuburan. Bentuknya beragam. Bahkan ada yang berbentuk dan seluas mesjid di Indonesia. Di makam tersebut, jenazah diletakkan dalam raung besar di bawah tanah yang memiliki satu pintu ke atas. Jadi bukan sekedar liang. Dan Jenazah tersebut tidak ditimbun tanah, hanya diletakkan saja di dalam ruang makam. Karenanya, di dalam kawasan kota mati, aroma yang menyeruak bersama angin sangat pekat berbau bangkai.


Selebihnya, kota mesir adalah deretan gedung di atas gurun. Semua objek wisata sekitar kota tidak jauh dari wisata pasir dan batu. Walaupun ada pepohonan di dalam kota, jangan membayangkan suasana sejuk kawasan Sudirman-Thamrin. Pohon yang tumbuh dominan Kurma dan beberapa jenis mirip angsana. Sehingga kesan coklat dan debunya akan sangat menonjol.

Berada di Mesir, saya seakan baru tersadar, betapa Indonesia adalah negeri yang indah dan kaya raya. Sayang kita belum bisa menikmati sepenuhnya. Di Jakarta kita juga memiliki debu, namun jelas lebih ramah dan sangat sedikit dibanding Mesir. Sementara coklat, opini saya di Indonesia adalah permen nikmat yang lezat. Sangat berbeda dari opini kota yang kaku, kumuh dan berdebu. Oh Indonesia… oh Indonesia…, satu untuk keindahanmu, satu lagi untuk kegagalan mengelolamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar